Tema : Manusia dan Keadilan (Makalah Ilmu Budaya Dasar
MAKALAH
ILMU BUDAYA SOSIAL
“KEADILAN DALAM ISLAM”
OLEH :
AHMAD LUTHFI MUBAROK
KELAS 1TA04
NPM : 10315348
UNIVERSITAS GUNADARMA
TAHUN 2015/2016
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-NYA sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah saya ini yang berjudul “Cinta Sesama Makhluk Allah
Menurut Islam” dengan lancar.
Saya
mohon maaf jika makalah ini kurang sempurna , semoga kritik dan saran yang saya
harapkan dapat membantu dan membangun saya , dan dapat menjadi lebih baik lagi
jikalau membuat makalah berikutnya di kemudian hari dan menjadi makalah yang
lebih sempurna.
Semoga makalah ini dapat membantu dan berguna serta menambah
wawasan bagi semua. kekurangan dan kesalahan milik saya pribadi, dan
sesungguhnya kebenaran hanya milik Allah Semata.
Depok,26 April 2016
Daftar Isi
BAB 1............................................................................................................
PENDAHULUAN..........................................................................................
Latar Belakang.........................................................................................
Batasan Masalah.......................................................................................
Rumusan Masalah.....................................................................................
Tujuan Penelitian.......................................................................................
Manfaat Penelitian.....................................................................................
BAB 2............................................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
I.
Pengertian
Keadilan Menurut Islam...............................................
II.
Aspek-aspek Keadilan dalam Islam..............................................
a. Aspek Hukum...........................................................................
b. Aspek Ekonomi........................................................................
c. Aspek Politik............................................................................
-Keadilan dalam memegang kekuasaan.....................................
-Keadilan dalam memberikan hak warga Negara......................
III.
Keadilan Gender dalam Islam........................................................
IV.
Hikmah Berlaku Adil.....................................................................
BAB 3............................................................................................................
SIMPULAN....................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................................
BAB
1
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Filosofis
keadilan dalam perspektif Islam adalah kemaslahatan universal dan komprehensif.
Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di muka
bumi, dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna
(Agustianto, 2004). Alquran dan hadis sebagai pedoman memiliki daya jangkauan
yang luas. Universalitas keadilan dalam Islam meliputi semua aspek kehidupan
manusia, baik pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Esensi
ajaran Islam terhadap aspek keadilan sosial dan ekonomi adalah sebuah keharusan
yang harus dijalankan oleh umat manusia. Karena keadilan dalam pandangan Islam
merupakan kewajiban dan keharusan dalam menata kehidupan setiap manusia. Selain
sebagai sebuah dari kewajiban dan keharusan. Keadilan sosial dan ekonomi juga
memiliki nilai transedental terhadap Allah (ibadah) sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya kami telah
menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu
(sumber) penghidupan, amat sedikitlah kamu bersyukur.” QS. Al-A’raf: 10)
Ibadah
dalam ajaran Islam bersumber kepada dua kutub. Kutub vertikal antara manusia
dengan Allah. Kutub horizontal antarsesama manusia. Jadi esensi ajaran Islam
tentang keadilan sosial dan ekonomi bisa berada pada kedua kutub. Namun
dominasi berada pada interaksinya antarsesama manusia. Menurut ajaran Islam, semua
kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan
tauhid. Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan
penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau
hubungan yang tidak Islami.
Setidaknya,
ada prinsip utama keadilan dalam Islam, yakni: Pertama, tidak boleh ada saling
mengeksploitasi sesama manusia, dan; Kedua, tidak boleh memisahkan diri dari
orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan
mereka saja (monopoli). Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga,
maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum
yang diwahyukan-Nya.
II.
Batasan Masalah
1. Pentingnya
perilaku adil
2. Aspek-aspek keadilan menurut islam
3. Hikmah melakukan keadilan
III.
Rumusan Masalah
1. Apakah
adil itu?
2. Apa
saja aspek keadilan di kehidupan sehari-hari?
3. Mengapa
kita harus berperilaku adil?
4. Bagaimana
menerapkan perilaku adil yang benar?
IV.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui
definisi keadilan
2. Mengetahui
aspek-aspek keadilan
3. Mampu menerapkan sifat adil.
4. Mengetahui
cara menerapkan sifat adil.
V.
Manfaat Penelitian
1. Bisa
mengetahui betapa pentingnya sikap adil
itu.
2. Mampu mengetahui hikmah berperilaku adil
3. Bisa menerapkan sifat adil dikehidupan sehari-hari
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
I.
Pengertian Adil dalam Islam
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan sosial didefinisikan sebagai sama berat,
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada
kebenaran. Kata adil (al-'adl) berasal dari bahasa Arab, dan dijumpai dalam
al-Qur'an, sebanyak 28 tempat yang secara etimologi bermakna pertengahan.
Pengertian adil, dalam budaya Indonesia, berasal dari ajaran Islam. Kata ini
adalah serapan dari kata Arab ‘adl.
Secara etimologis, dalam Kamus Al-Munawwir, al’adl
berarti perkara yang tengah-tengah. Dengan demikian, adil berarti tidak berat
sebelah, tidak memihak, atau menyamakan yang satu dengan yang lain
(al-musâwah). Istilah lain dari al-‘adl adalah al-qist, al-misl (sama bagian
atau semisal). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu dengan
yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu
menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti
berpihak atau berpegang kepada kebenaran. Menurut Ahmad Azhar Basyir, keadilan
adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau menempatkan sesuatu
pada proporsinya yang tepat dan memberikan kepada seseorang sesuatu yang
menjadi haknya.
Ihsan (kebajikan) dinilai sebagai sesuatu yang melebihi
keadilan. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, keadilan lebih utama daripada
kedermawanan atau ihsan. Ihsan adalah memperlakukan pihak lain lebih baik dari
perlakuannya, atau memperlakukan yang bersalah dengan perlakuan yang baik.
Ihsan dan kedermawanan merupakan hal-hal yang baik pada tingkat antar individu,
tetapi dapat berbahaya jika dilakukan pada tingkat masyarakat.
Imam Ali r.a. bersabda, "Adil adalah menempatkan
sesuatu pada tempatnya, sedangkan ihsan (kedermawanan) menempatkannya bukan
pada tempatnya." Jika hal ini menjadi sendi kehidupan bermasyarakat, maka
masyarakat tidak akan menjadi seimbang. Itulah sebabnya, mengapa Nabi Saw
menolak memberikan maaf kepada seorang pencuri setelah diajukan ke pengadilan,
walau pemilik harta telah memaafkannya.
Keadilan seperti terlihat di atas, bukan mempersamakan
semua anggota masyarakat, melainkan mempersamakan mereka dalam kesempatan
mengukir prestasi. Sehubungan dengan itu, Murtadha Muthahhari menggunakan kata
adil dalam empat hal, pertama, yang dimaksud dengan adil adalah keadaan yang
seimbang; kedua, persamaan dan penafian (peniadaan) terhadap perbedaan apa pun;
ketiga, memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang
berhak menerimanya.
Keadilan dalam pelaksanaannya tergantung dari
struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, struktur-struktur mana terdapat
dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan ideologi. Maka membangun
keadilan berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan
keadilan.Masalah keadilan ialah bagaimanakah mengubah struktur-struktur
kekuasaan yang seakan-akan sudah memastikan ketidakadilan, artinya yang
memastikan bahwa pada saat yang sama di mana masih ada golongangolongan miskin
dalam masyarakat, terdapat juga kelompok-kelompok yang dapat hidup dengan
seenaknya karena mereka menguasai sebagian besar dari hasil kerja dan hak-hak
golongan yang miskin itu.
Menurut Juhaya S.Praja, dalam Islam perintah berlaku adil
ditujukan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Perkataan yang benar harus
disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan kerabat sendiri.
Keharusan berlaku adil pun harus dtegakkan dalam keluarga dan masyarakat muslim
itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat islam diperintahkan berlaku
adil. Untuk keadilan sosial harus ditegakkan tanpa membedakan karena kaya
miskin, pejabat atau rakyat jelata, wanita atau pria, mereka harus diperlakukan
sama dan mendapat kesempatan yang sama. Senada dengan itu, Sayyid Qutb
menegaskan bahwa Islam tidak mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang
digantungkan kepada tingkatan dan kedudukan.
Salah satu sumbangan terbesar Islam kepada umat manusia
adalah prinsip keadilan sosial dan pelaksanaannya dalam setiap aspek kehidupan
manusia. Islam memberikan suatu aturan yang dapat dilaksanakan oleh semua orang
yang beriman. Setiap anggota masyarakat didorong untuk memperbaiki kehidupan
material masyarakat tanpa membedakan bentuk, keturunan dan jenis orangnya.
Setiap orang dipandang sama untuk diberi kesempatan dalam mengembangkan seluruh
potensi hidupnya.
II.
Aspek-aspek
Keadilan Dalam Islam
1.
Aspek Hukum
Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah
dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam sesuatu masyarakat, dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena
pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak
pemerintah masyarakat itu.Menurut Siti Musdah Mulia, hukum adalah aturan-aturan
normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh di ruang vakum
(kosong), melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya
suatu aturan bersama. Sedangkan hukum Islam oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy
sebagaimana dikutip oleh Ismail Muhammad Syah dirumuskan sebagai koleksi daya
upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari’at atas kebutuhan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan aspek hukum, bahwa keadilan hukum
Islam bersumber dari Tuhan yang Maha Adil, karena pada hakikatnya Allah-lah
yang menegakkan keadilan (quiman bilqisth), maka harus diyakini bahwa Allah
tidak berlaku aniaya (zalim) kepada hamba-hamba- Nya (Q.S. 10/Yunus: 449). Oleh
karena itu setiap perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya pada
hari keadilan (Q.S. 4/al-Nisa: 110). Adil dalam pengertian persamaan
(Equality), yaitu persamaan dalam hak, tanpa membedakan siapa; dari mana orang
yang akan diberikan sesuatu keputusan oleh orang yang diserahkan menegakkan
keadilan,
Dalam prinsip keadilan hukum ini Nabi SAW menegaskan
adanya persamaan mutlak (egalitarisme absolut, al-musawah al-muthlaqah) di
hadapan hukum-hukum syariat. Keadilan dalam hal ini tidak membedakan status
sosial seseorang, apakah ia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, dan
tidak pula karena perbedaan warna kulit serta perbedaan bangsa dan agama,
karena di hadapan hukum semuanya sama.
Konsep persamaan yang terkandung dalam keadilan tidak
pula menutup kemungkinan adanya pengakuan tentang kelebihan dalam beberapa
aspek, yang dapat melebihkan seseorang karena prestasi yang dimilikinya. Akan
tetapi kelebihan tersebut tidaklah akan membawa perbedaan perlakuan hukum atas
dirinya. Pengakuan adanya persamaan, bahkan dalam al-Qur'an dinyatakan sebagai
"pemberian" Allah yang mempunyai implikasi terhadap tingkah laku
manusia, adalah bagian dari sifat kemuliaan manusia (al-karamah al-insaniyah),
yang juga bagian dari ketetapan Tuhan
Martabat dan harkat manusia dalam pandangan al-Qur'an
adalah sebagai anugerah Allah SWT,. Oleh karena itu tidak ada satu kekuatan
apapun yang dapat merusakkan dan menghancurkannya, kecuali sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Pengakuan tentang adanya harkat dan
kehormatan ini sekaligus juga memperkuat adanya kewajiban dan tanggungjawab
manusia yang seimbang dalam kehidupan ini. Kecuali itu, keadilan hukum berarti
pula adanya keseimbangan dalam hukuman terhadap kejahatan atau pelanggaran,
hukuman seimbang atau setimpal dengan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan
Penegakan keadilan secara adil dan merata tanpa pilih
bulu adalah menjadi keharusan utama dalam bidang peradilan, walaupun berkaitan
dengan diri sendiri, keluarga dekat, atau orang-orang yang memiliki pengaruh
atau kekuasaan, sebagaimana dikemukakan secara gamblang dalam surat an-Nisa
ayat 135. Untuk melihat bagaimana praktek penerapan keadilan bidang hukum dalam
sejarah, berikut ini dikemukakan suatu peristiwa bahwa setelah penaklukan kota
Mekah, ada seorang perempuan keturunan suku Quraisy dari Bani Makhzum melakukan
pencurian. Menurut ketentuan hukum Islam, hukuman yang harus dijatuhkan
terhadap pencuri adalah potong tangan (Q.S. 5/al-Maidah: 38). Mengetahui betapa
beratnya hukuman tersebut, maka salah seorang pemuka Quraisy menemui Usamah bin
Zaid meminta agar Usamah menemui Nabi SAW untuk menyampaikan permohonan suku
Makhzum ini kepada Nabi agar wanita tersebut diberi dispensasi, dibebaskan dari
hukuman pidana tersebut. Mendengar permintaan Usamah ini, Nabi SAW. balik
bertanya kepada Usamah, apakah mereka ini meminta syafa'at bagi seseorang dalam
kejahatan yang telah jelas hukumannya dari Allah. Kemudian serta merta Nabi SAW.
berdiri seraya memberikan penjelasan singkat: sesungguhnya kebinasaan umat
sebelummu bahwa jika terjadi pencurian yang dilakukan orang dari golongan
bangsawan, mereka dibebaskan tidak dihukum, tetapi jika pencurian dilakukan
oleh orang lemah (rakyat biasa) mereka melaksanakan hukumannya, maka Nabi SAW
mengucapkan sumpah, Demi Allah jika Fatimah anak Muhammad mencuri, niscaya aku
potong tangannya.
Keadilan hukum dalam Islam tidak menyamakan hukuman di
antara orang kuat dan orang lemah, tetapi memiliki persepsi lain yang belum
pernah ada sebelumnya, dan tidak dapat disamakan dengan sistem hukum manapun
sekarang ini, bahwa hukuman bisa menjadi lebih berat bila pelakunya orang
besar, dan hukuman sesuai dengan tindakan pidana, maka haruslah hukuman itu
menjadi lebih berat sesuai dengan kelas pelaku tindak pidana tersebut. Keadilan
dalam hukum Islam membawa suatu prinsip yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Sebagian negaranegara di dunia sekarang tidak memberikan hukuman terhadap
tindakan pidana yang dilakukan seorang kepala negara, karena hukum itu tidak
mengandaikan terjadinya tindakan pidana dari seorang kepala negara. Para
pembuat undang-undang menganggap pribadi kepala negara sebagai orang yang
dilindungi dan tidak dapat disentuh oleh hukum.
Terlepas dari kenyataan itu semua, para fuqaha telah
sepakat bahwa para penguasa dan pemimpin tertinggi negara tetap bisa dikenakan
hukum seperti halnya kebanyakan orang, tanpa perbedaan apapun. Jadi, tidak ada
perbedaan antara pimpinan besar yang menjadi kepala negara dan orang biasa
dalam perlakuan hukum. Kedudukannya sebagai kepala negara tidak dapat
menyelamatkan dari ancaman hukuman bila terbukti bersalah.
2.
Aspek Ekonomi
Keadilan dalam bidang ekonomi pada prinsipnya harta itu
tidak boleh terpusat pada kelompok aghniya (golongan kaya) saja sebagaimana dikemukakan
dalam surat al-Hasyr:7. Jika terjadi pemusatan kekayaan, maka akan timbul
ketimpangan sosial, akan terjadi kemiskinan dan proses pemiskinan. Islam
memandang bahwa kemunduran umat Islam bukan hanya terletak pada kejahilan
terhadap syariat Islam saja, tetapi juga pada ketimpangan struktur ekonomi dan
sosial. Ini dilukiskan oleh Al-Qur'an ketika menjelaskan bahwa kemiskinan itu
bukanlah semata-mata diakibatkan oleh kemalasan individual, melainkan
disebabkan tidak adanya usaha bersama untuk membantu kelompok lemah, adanya
kelompok yang memakan kekayaan alam dengan rakus dan mencintai kekayaan dengan
kecintaan yang berlebihan (al-Fajr: 17-20)
Islam tidak menuntut adanya pemerataan kekayaan dalam
arti yang sebenarnya secara harafiyah, karena distribusi kekayaan tergantung
pada kemampuan masing-masing individu yang satu sama lain tidak seragam. Dengan
demikian keadilan dalam arti yang mutlak menuntut agar imbalan kepada semua
orang sama-sama berbeda, dan bahwa sebagian di antara mereka mendapatkan
imbalan lebih besar daripada yang lain selama keadilan dalam arti kemanusiaan
itu dipertahankan dengan disediakannya kesempatan yang sama bagi semua orang.
Jadi tingkat atau kedudukan seseorang, asal-usul atau kelas dalam masyarakat
jangan sampai menghalangi siapa saja untuk mendapatkan kesempatan itu, atau
jangan sampai ada orang yang terhalang kesempatannya untuk berusaha karena
belenggu itu. Keadilan juga harus dipertahankan dengan segala macam nilai yang
berlaku, dan dengan pembebasan fikiran manusia secara tuntas dari pelaksanaan
nilai-nilai ekonomik murni secara sewenang-wenang, serta dengan meletakkan
kembali nilai-nilai ditempatnya yang wajar. Nilai-nilai ekonomik secara
intrinsik tidak boleh ditempatkan pada posisi yang tinggi, sehingga menguasai
posisi masyarakat yang tidak memiliki nilai-nilai yang pasti atau yang kurang
memperhatikannya; sehingga dalam kondisi semacam itu uang merupakan
satu-satunya nilai yang paling tinggi dan azasi.
Islam menentang pendapat yang menyatakan bahwa hidup itu
dapat diperhitungkan dengan istilah cukup pangan, cukup sandang atau cukup
uang. Akan tetapi Islam pada saat yang sama menuntut adanya kemampuan pada
setiap individu untuk mengembangkan dirinya, dan bahkan tidak hanya satu macam
kemampuan, agar ia tidak tercekam oleh perasaan takut menjadi miskin. Pada
sisinya yang lain Islam juga melarang kemewahan dan pemborosan yang melampaui
batas yang dapat menimbulkan kelas-kelas dalam masyarakat. Islam memberikan hak
kepada orang-orang miskin atas harta orang-orang kaya sekedar memenuhi
kebutuhan mereka, dan sesuai dengan kepentingan yang baik bagi masyarakat,
sehingga karenanya kehidupan masyarakat dapat sempurna, adil dan produktif.
Jadi Islam tidak memisah-misahkan aspekaspek kehidupan, antara material,
intelektual, keagamaan dan duniawi; akan tetapi Islam mengatur keseluruhannya
sehingga satu sama lain dapat dirangkaikan sebagai satu bentuk kehidupan yang
utuh terpadu dan sulit untuk diperlakukan dengan diskriminasi. Setiap bagian
dari kehidupan ini satu sama lain merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi
rapi, sama seperti keteraturan organisasi alam semesta yang terpadu itu, keteraturan
hidup, keteraturan bangsa dan keteraturan seluruh umat manusia.
3.
Aspek Politik
Hakikat politik adalah perilaku manusia, baik berupa
aktivitas ataupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi ataupun mempertahankan
tatanan sebuah masyarakat dengan menggunakan kekuasaan. Ini berarti bahwa
kekuasaan bukanlah hakikat politik, meskipun harus diakui bahwa ia tidak dapat
dipisahkan dari politik, justru politik memerlukannya agar sebuah kebijaksanaan
dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat.
Wacana politik yang berkaitan dengan keadilan sosial akan
berhubungan langsung dengan demokrasi dan penegakan hak-hak asasi. Pembahasan
politik selalu diidentikkan dengan kekuasaan, padahal dalam proses sejarah
politik tidak harus dilihat dari kacamata kekuasaan belaka, bahkan makna
politik akan semakin absurd (kabur) jika hanya dilihat dalam perspektif
kekuasaan.
Ada beberapa hal yang perlu dikaji, yang berhubungan
dengan keadilan dalam bidang politik:
a.
Keadilan dalam memegang kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok
manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang atau kelompok lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala kekuasaan ini adalah
gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat, dalam semua bentuk
masyarakat. Mekanisme perimbangan kekuasaan itu menjadi dasar semua tatanan
keadilan, yang jika manusia ikut serta dalam menegakkannya akan menjadi jaminan
bagi kelangsungan hidup masyarakat atau bangsa sendiri.
Mekanisme kontrol dan perimbangan di zaman modern ini
telah dibentuk menjadi sistem kenegaraan, yaitu sistem demokrasi. Prinsip utama
dalam sistem demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat yang berjalan
melalui mekanisme perwakilan. Di mana rakyat berpartisipasi aktif dalam
mekanisme pemerintahan baik melakukan kontrol secara langsung maupun tidak
langsung (wakil mereka).
Jadi yang dimaksud keadilan di sini keadilan yang harus
dipegang seorang pemimpin yang mengandung arti perimbangan atau keadaan
seimbang, tidak pincang dalam menunaikan tugas yang diamanatkan Allah ataupun
rakyat kepada dirinya, agar amanat itu dijalankan sebagaimana mestinya menurut
undang-undang dan hukum yang berlaku.
b.
Keadilan dalam memberikan hak warga negara
Keadilan tidak akan pernah lepas dari masalah-masalah
penegakan hak-hak asasi. Di mana keadilan itu sendiri harus ditegakkan lewat
pemberian hak kepada yang berhak.
Keadilan itu yang dimaksud adalah keadilan dalam pemberian
hak-hak warga negara. Inilah keadilan yang tidak dapat diabaikan dalam ranah
politik. Adanya tingkat partisipasi politik yang tinggi, dalam Islam itu
berakar dalam adanya hak-hak pribadi dan hak-hak masyarakat yang tidak dapat
diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat menghasilkan adanya tanggung jawab
bersama terhadap kesejahteraan para warga. Hak masyarakat itu atas pribadi
warga negaranya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga itu kepada
masyarakat. Jadi, hak dan kewajiban adalah sesungguhnya dua sisi dari satu
kenyataan hakiki manusia, yaitu harkat dan martabatnya.
Disinilah fungsi negara sebagai sistem kekuasaan, yaitu
menjamin kepada seluruh warganya untuk dapat menikmati hak-hak. Hak-hak yang
paling asasi yang dimiliki manusia bukanlah hadiah dari negara tetapi merupakan
kodrat martabat kemanusiaan yang telah diberikan Tuhan sejak lahir. Di antara
hak-hak dasar itu adalah hak berpendapat, hak kebebasan beragama, hak hidup
yang layak, hak berserikat. Hak-hak ini harus selamanya dijamin dalam
realisasinya dan jika negara atau orang lain merampasnya sudah seharusnya
dituntut.
III.
Keadilan
Gender Dalam Islam
Inti keadilan adalah persamaan hak, sedangkan yang
disebut gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Pengertian lain
menganggap gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gender adalah usaha sebagai
perbedaan yang tampak (kelihatan) antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi nilai dan tingkah laku. Tetapi oleh beberapa ahli gender keterangan itu
mesti ditambah dan disempurnakan. Wilson yang dikutip Yudhie R.Haryono menulis;
gender adalah sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif
(masyarakat), yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.
Jadi ada aspek fungsi yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki
dan perempuan.
Gender adalah perbedaan sosial antara kaki-laki dan
perempuan yang di titik beratkan pada prilaku, fungsi dan peranan masing-masing
yang ditentukan oleh kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi sosial budaya. Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait
dengan gender adalah sebuah kontruksi sosial (social contruction).Singkat kata,
gender adalah interprestasi budaya terhadap perbedaan jeniskelamin
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa gender adalah usaha mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dari segi-segi sosial budaya, psikologis bahkan moral etika dan seni.
Inti dari wacana gender itu sendiri adalah persamaan hak. Dari pengertian itu
maka keadilan gender itu sebenarnya sudah ada, tapi hakikat keadilan gender
yang memperkuat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan itu dalam
pelaksanaannya seringkali mengalami distorsi.
Meskipun secara biologis keduanya: laki-laki dan
perempuan berbeda sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur'an, namun perbedaan
jasmaniah itu tidak sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif
terhadap perempuan. Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan
perempuan dan mengistimewakan laki-laki. Perbedaan biologis jangan menjadi
pijakan untuk menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan laki-laki pada
posisi superordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan
seharusnya menuntun manusia kepada kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan dan dengan bekal perbedaan itu keduanya diharapkan dapat
saling membantu, saling mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Karena
itu, keduanya harus bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju
kepada kehidupan abadi di akhirat nanti
Islam secara tegas menempatkan perempuan setara
dengan laki-laki, yakni dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba
Allah Swt. Dari perspektif penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan
laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati
tanah), sehingga sangat tidak beralasan memandang perempuan lebih rendah
daripada laki-laki.Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan
kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan
takwa, serta kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam
disebut amar ma'ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai,
dan sejahtera (baldatun thayyibah wa rabun ghafur).
Akan tetapi, dalam realitas
sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali diperlakukan tidak setara dengan
laki-laki. Kondisi yang timpang ini muncul karena masyarakat sudah terlalu lama
terkungkung oleh nilai-nilai patriarkhi dan nilai-nilai bias gender dalam
melihat relasi kuasa antara lakilaki dan perempuan. Nilai-nilai patriarki
selalu menuntut pengakuan masyarakat atas kekuasaan laki-laki dan segala
sesuatu yang berciri laki-laki.Dalam pandangan patriarki, laki-laki dan
perempuan adalah dua jenis makhluk yang berbeda sehingga keduanya perlu
dibuatkan segregasi ruang yang ketat; laki-laki menempati ruang publik,
sedangkan perempuan cukup di ruang domestik. Posisi perempuan hanyalah merupakan
subordinate dari laki-laki.
Namun dalam kenyataan dewasa
ini dijumpai kesenjangan antara ajaran Islam yang mulia tersebut dengan
kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang kesederajatan antara
lelaki dan perempuan, masih banyak tantangan dijumpai dalam merealisasikan
ajaran ini, bahkan di tengah masyarakat Islam sekalipun. Kaum perempuan masih
tertinggal dalam banyak hal dari mitra lelaki mereka. Dengan mengkaji data dan
mencermati fakta yang menyangkut kaum perempuan seperti tingkat pendidikan
mereka, derajat kesehatan, partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan,
tindak kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual dan perkosaan,
eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan, dan sebagainya, kita dapat
menyimpulkan betapa masih memprihatinkannya status kaum perempuan.
Perjuangan untuk mencapai
kesederajatan dengan kaum lelaki sebagaimana diajarkan Al-Qur'an masih panjang
dan memerlukan dukungan dari semua pihak termasuk kaum lelaki. Bagaimanapun
juga, masalah perempuan adalah masalah kemanusiaan, termasuk di dalamnya kaum
lelaki. Sebagaimana disebut dalam Al-Qur'an, lelaki dan perempuan itu saling
menolong, saling memuliakan, dan saling melengkapi.
Al-Qur'an tidak mengajarkan
diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan,
lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama. Namun masalahnya terletak
pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Banyak faktor seperti
lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat, sistem (termasuk sistem ekonomi
dan politik), serta sikap dan perilaku individual yang menentukan status kaum
perempuan dan ketimpangan gender tersebut.
Perbedaan gender sesungguhnya
tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender
(gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender
telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama
terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di
mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender,
dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan,
yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui
pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih
banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi
ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan
berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satu pun
manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting, lebih esensial, dari yang
lain. Misalnya, marginalisasi ekonomi kaum perempuan justru terjadi karena
stereotipe tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbang kepada subordinasi,
kekerasan kepada kaum perempuan, yang akhirnya tersosialisasikan dalam
keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri. Dengan demikian, kita
tidak bisa menyatakan bahwa marginalisasi kaum perempuan adalah menentukan dan
terpenting dari yang lain dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian lebih.
Atau sebaliknya, bahwa kekerasan fisik (violence) adalah masalah paling
mendasar yang harus dipecahkan terlebih dahulu
Kalimat pertama diturunkan
dalam Al-Quran adalah kalimat perintah dan kalimat perintah tersebut adalah
perintah untuk membaca (iqra'), lalu disusul dengan sumpah pertama Tuhan dalam
Al-Quran yaitu Nun wa al-qalami wa ma yasthurun (Demi kalam dan apa yang dituliskannya).
Hal ini menegaskan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam Islam. Perintah
untuk menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya kepada laki-laki, tetapi juga
kepada kaum perempuan, seperti ditegaskan dalam hadis yang populer di dalam
masyarakat, "Menuntut ilmu pengetahuan adalah difardukan kepada kaum
Muslim laki-laki dan perempuan." Al-Quran dan hadis banyak memberikan
pujian kepada lakilaki dan perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu
pengetahuan.
Kemerdekaan perempuan dalam
menuntut ilmu pengetahuan banyak dijelaskan dalam beberapa hadis, seperti hadis
yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah melaknat perempuan yang membuat
keserupaan diri dengan kaum laki-laki, demikian pula sebaliknya, tetapi tidak
dilarang mengadakan perserupaan dalam hal kecerdasan dan amar ma'ruf.
IV.
Hikmah
Berperilaku Adil
Berperilaku adil pasti ada hikmahnya, dan berikut
ini beberapa hikmah yang akan kita dapatkan apabila kita berbuat adil yaitu :
1.
Menjadi pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt, karena adil
lebih dekat dengan taqwa (Q.S. Al-Maidah ayat 8)
2.
Menjadi pemimpin dan teladan sekaligus pengayom bagi orang lain
3.
Disegani dan dipercaya oleh masyarakat sekitar
4.
Menumbuhkan rasa kepuasan, aman dan nyaman bagi orang lain
5.
Menciptakan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat
6.
Mempererat tali persaudaraan dan pesatuan
7.
Doanya cepat dikabulkan oleh Allah swt, dan juga mendapatkan
perlindungan/pertolongan (naungan) dari Allah swt ketika di akhirat nanti, jika
kita menjadi pemimpin yang adil.
Nabi bersabda yang
artinya:”tiga orang yang tidak ditolak doanya: orang yang sedang berpuasa
hingga berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang teraniaya, Allah mengangkat
doa mereka ke atas awand an dibuka untuk doa itu segala pintu langit. Seraya
Allah SWT berfirman: Demi kebesaran-Ku sesungguhnya Aku akan menolong engkau
walau pertolongan-Ku Aku berikan pada masa kelak”. (HR. Ahmad)
BAB 3
SIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas, bahwa Islam bertujuan membentuk masyarakat dengan tatanan
sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan
dan kasih sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan
tak diikat batas geografis. Islam menganggap umat manusia sebagai suatu
keluarga. Karenanya semua anggota keluarga itu mempunyai derajat yang sama
dihapan Allah. Islam tidak membedakan pria ataupun wanita, putih atau hitam.
Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan,
ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada kemanusiaan.
Keadilan
sosial dalam aspek hukum ditandai dengan adanya persamaan semua orang dihadapan
hukum, selain itu hukum ada di atas segalanya dan setiap orang dilindungi
hak-haknya.
Konsepsi keadilan ekonomi yang Islami mempunyai ciri khas dari konsep
ekonomi yang lain, di antaranya: pertama, keadilan sosial Islami dilandasi
prinsip keimanan yaitu, bahwa semua yang ada di alam semesta adalah milik
Allah. (Q.S. 10/Yunus:55). Kedua, keadilan sosial dalam Islam berakar pada
moral, ketiga, secara filosofis, konsep keadilan sosial berlandaskan pada
pandangannya mengenai sesuatu yang memaksimumkan kebahagiaan manusia. Dengan
kata lain, kebahagiaan adalah wujud apa saja yang membahagiakan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=8443
2.
http://aceh.tribunnews.com/2014/02/07/keadilan-dalam-islam
3.
http://www.kitapunya.net/2015/07/pengertian-macam-dah-hikmah-perilaku.html
Comments
Post a Comment